Jumat, 11 Februari 2011

TJOT NYAK MEUTIA ( 1870 - 1910 )

Cut Nyak Meutia
(Lahir Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Meninggal Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh

Awalnya Cut Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Cik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Cut Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Nyak Meutia gugur.



CUT NYAK MEUTIA WANITA ANGGUN BERHATI BAJA MENGUSIR BELANDA

Cut Meutia adalah pahlawan dari Aceh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tanah Rencong. Ia lahir tahun 1870. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak. Ibunya bernama Cut Jah. Cut Meutia adalah satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Keluarga ini adalah salah satu dari sekian banyak keluarga Mujahid (pejuang) yang pernah dimiliki Aceh, yang juga terkenal dengan julukan Serambi Mekah. Sejak kecil Cut Meutia dididik ilmu agama oleh banyak ulama. Bahkan ayahnya sendiri adalah salah satu dari sekian banyak guru agama yang pernah mengajarnya.
Cut Meutia tumbuh sebagai seorang gadis cantik rupawan. Banyak pemuda yang datang untuk meminang dan menikahinya. Akhirnya, seorang pemuda bernama Teuku Cik Tunong berhasil meminang dan menikahinya. Saat itu tanah Aceh sedang berada dalam bahaya. Para pejuang Aceh sekuat tenaga berusaha mengusir penjajah Belanda. Cut Meutia terpanggil untuk berjuang di medan laga bersama suaminya. “Kita harus berjuang mengusir penjajah!” demikian tekad pasangan itu.

Sejak itulah mereka keluar masuk hutan untuk bertempur dan melawan Belanda. Namun, Teuku Cik Tunong tertangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Ia mati syahid sebagai seorang pejuang. “Kobarkan terus perjuangan! Mati satu tumbuh seribu!” Itulah kata terakhir Teuku Cik Tunong sebelum menjalani hukuman mati. Sepeninggal Teuku Cik Tunong, tidak lama kemudian Cut Meutia memilih kembali pendamping hidupnya. Ia seorang pejuang juga yang bernama Cik Pang Nanggroe (Cik Pang Nagru).
Bersama suaminya, Cut Meutia meneruskan perjuangan dengan lebih dahsyat. “Jangan biarkan Belanda lolos dari sergapan kita!” kata suami istri pejuang itu dengan bersemangat. Mereka semakin gencar menyergap patroli-patroli Belanda. Sudah banyak korban dari pihak pasukan Belanda yang tewas di tangan Cut Meutia dan suaminya. Menghadapi keadaan itu, pasukan Belanda semakin takut terhadap Srikandi dari Tanah Rencong itu.
Namun, pada sebuah pertempuran, Cik Pang Nagru gugur di medan perang. Cut Meutia dengan 45 pasukan yang tersisa berhasil meloloskan diri. “Kita lanjutkan perang dengan cara bergerilya,” perintah Cut Meutia kepada pasukannya. Bersama pasukannya yang hanya memiliki 13 pucuk senjata, Cut Meutia melanjutkan perang secara bergerilya. Raja Sabil, putra Cut Meutia yang baru berumur 11 tahun, selalu mengikuti ibunya pergi berjuang.
Kekuatan yang tidak seimbang antara pasukan Belanda dan pasukan Cut Meutia membuat banyak kerabat dan teman dekat Cut Meutia mulai merasa cemas. Mereka mengusulkan agar ia menyerah dan meminta pengampunan dari Belanda. Namun usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Cut Meutia. “Tidak!” jawabnya tegas,” Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan!”. Sejak pertama kali mengenal kata berjuang, Cut Meutia telah menanamkan tekad “takkan surut kaki melangkah hingga badan berkalang tanah”.
Pada tahun 1903, Sultan Mahmud Daud Syah terpaksa menyerah kepada Belanda. Peristiwa itu disusul dengan menyerahnya raja-raja lain, seperti pasukan yang dipimpin oleh Panglima Polim. Melihat kenyataan itu, Cut Meutia tidak sedikitpun mengendurkan nyalinya dalam berjuang. Pada suatu hari tempat persembunyian Cut Meutia tercium oleh Belanda. Belanda langsung mengerahkan pasukannya menyerbu tempat persembunyian itu. “Sekarang kau dan pasukanmu telah dikepung! Cepatlah menyerah!” teriak komandan pasukan Belanda. Namun, Cut Meutia tetap menolak untuk takluk.

Dengan hanya bersenjata sebilah rencong dan pedang, ia maju paling depan untuk memimpin pasukannya. Bagai singa terluka, Cut Meutia menyerang, menebas dan menerjang lawan tanpa rasa gentar. Banyak pasukan Belanda yang tewas. Di tengah pertempuran, sebutir peluru menembus tubuh Cut Meutia. Darah mengucur deras. Akhirnya, Cut Meutia gugur di medan pertempuran sebagai pejuang dari tanah rencong.
Cut Meutia dengan gagah berani membuktikan kecintaannya kepada nusa dan bangsanya. Ia membela dan memperjuangkan kedaulatan bangsa sampai titik darah penghabisan

0 komentar:

Posting Komentar