Jumat, 11 Februari 2011

Laksemana Keumalahayati ( 1585 - 1604 )


Tampaknya tidak
banyak yang tahu bahwa bangsa kita
pernah memiliki laksamana wanita.
Hebatnya lagi secara historis tercatat
sebagai laksamana wanita kedua di dunia.
Yang pertama adalah Artemisya, permaisuri
Raja Mosul di Anatolia yang hidup pada
tahun 480 SM.
Laksamana wanita kita ini bernama
Malahayati (1585 – 1604), nama
lengkapnya adalah Keumala Hayati dari
Aceh. Ia puteri Laksamana Mahmud Syah.
Kakeknya dari garis ayah adalah Laksamana
Muhammad Said Syah, putra Sultan
Salahudin Syah yang memerintah Aceh
sekitar 1530 – 1539. Sultan Salahudin
adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali
Mughayat Syah (1513 – 1530), yang
dikenal juga sebagai pendiri Kerajaan Aceh
Darussalam.
Malahayati adalah alumni jurusan angkatan
laut di Mahad Baitul Mukadis, akademi
militer Aceh yang dibangun atas bantuan
pemerintahan Bani Usmaniyah Turki di
bawah Sultan Selim II. Di akademi ini
tercatat ada kurang lebih 100 instruktur
Turki. Di akademi inilah Malahayati bertemu
calon suaminya yang lebih senior dan yang
kemudian sang suami tercinta menjadi
Laksamana, sedangkan ia sendiri diangkat
Sultan menjadi Komandan Protokol Istana
Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika suaminya tewas dalam pertempuran
laut di Teluk Haru (Selat Malaka) melawan
Portugis. Malahayati memohon kepada
Sultan Al Mukammil (1589 – 1604) untuk
membentuk sebuah armada yang semua
prajuritnya para janda yang suaminya
gugur dalam pertempuran Teluk Haru.
Sultan mengabulkan dan mengangkat
Laksamana Malahayati sebagai Panglima
Armada Inong Balee (Armada Perempuan
Janda). Yang anggotanya dari 1.000 orang
berangsur menjadi 2.000 orang sebab ada
gadis-gadis muda yang bergabung. Armada
ini memiliki pangkalan di Teluk Lamreh
Krueng Raya dengan 100 kapal perang
bersenjata meriam dan sebagian mampu
mengangkut 400 – 500 pasukan.
Bentengnya dinamakan Kuto Inong Balee di
atas perbukitan menghadap ke teluk.
Kiprah Malahayati memang terbukti. Ia
berhasil menghantam empat kapal dagang
Belanda yang dipimpin Cornelis de
Houtman dan Frederijk de Houtman pada
tahun 1599 yang dinilai melakukan
kecurangan. Bahkan Cornelis yang kondang
dikenal sebagai salah satu orang Belanda
yang tiba di Banten tahun 1596 ; tewas di
tangannya. Untuk jasanya ini Malahayati
diangkat sebagai Panglima Angkatan Laut
Aceh. Setahun setelah kejadian ini, lagi-lagi
Belanda berulah ketika dua kapal dagang
Belanda di bawah pimpinan Paulus van
Caerden menenggelamkan sebuah kapal
dagang Aceh yang bermuatan lada serta
beberapa kapal lainnya. Akibat ulah ini,
Malahayati menangkap rombongan armada
empat kapal Jacob van Neck yang
bersenjata lengkap, dalam perjalanan ke
Maluku untuk mengusir Portugis, yang tiba
di Aceh pada tanggal 31.06.1601.
Sampai Prins Maurits merasa perlu untuk
mengirim surat permohonan maaf kepada
Sultan yang kemudian dibawa oleh
Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana
Laurens Bicker. Rombongan ini tiba di Aceh
pada tanggal 23.08.1601. Perundingan
damai pun disepakati, Belanda memberikan
ganti rugi kepada pihak Aceh sebesar 50
ribu gulden atas ulah norak van Caerden
dan Aceh pun membebaskan Frederijk de
Houtman yang selama ditahan menulis
kamus bahasa Melayu – Belanda dan
menterjemahkan Injil ke bahasa Melayu.
Yang luar biasa, Malahayati pula yang
menghadapi Laksamana Sir James
Lancaster pada tanggal 6 Juni 1602, yang
dikirim oleh Ratu Elizabeth I (1558 – 1603)
dari Inggeris untuk menjalin hubungan
diplomatik dengan Aceh. Dengan demikian
jelaslah, Malahayati bukan cuma seorang
yang berkiprah di medan perang laut tetapi
juga seorang diplomat ulung di meja
perundingan. Dan terbukti ia mampu
menghadapi Sir James Lancaster yang
dikenal sebagai tokoh maritim dunia.
Malahayati gugur dalam sebuah
pertempuran laut melawan armada
Portugis di Teluk Krueng Raya. Ia
dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam,
sebuah bukit di desa nelayan Krueng Raya
yang berjarak 34 kilometer dari kota Banda
Aceh. Indonesia patut bangga dengan
sosok Malahayati, seorang perempuan
perkasa – Srikandi laut dengan Armada
Inong Balee-nya.

0 komentar:

Posting Komentar